The Social Dilemma — Movie review

Raudhohfitrah
2 min readDec 29, 2021

--

Source : Cahyaloka.com

The social dilemma, film dokumenter netflix ini mengumpulkan sudut pandang para perancang teknologi tentang distraksi-distraksi/ disrupsi teknologi terhadap humanity. Mengapa humanity? Karena teknologi yang awalnya dirancang untuk memudahkan kehidupan manusia kemudian berubah manipulatif, untuk menguntungkan.

“Tools, seharusnya adalah objek, bukan subject”. Ia seharusnya tidak memiliki kemampuan apapun untuk mengendalikan/ mempengaruhi penggunanya. Pada dasarnya, tools memiliki fungsi tertentu, yang seharusnya dimanfaatkan sebatas fungsinya saja. Misal,manusia bergantung pada gelas untuk minum. Cukup.

Produk-produk teknologi seperti media sosial memperluas bentuk ketergantungan tersebut. Dengan cara melakukan simbiosis mutualisme, dimana pengguna boleh menggunakan produk tersebut secara gratis, namun sosial media (pengembangnya) boleh mengumpulkan rekam jejak pengguna atas nama “meningkatkan pelayanan”, familiar?

Lalu, seiring waktu, algoritma-algoritma, formula-formula dikembangkan untuk mengenali perilaku pengguna. Eksperimen dibangun, jika pengguna diberikan trigger X, maka akan merespon Y. Jika pengguna diberikan konten X, maka respond nya akan Y. Hipotesis-hipotesis tersebut terus diuji dalam setiap interaksi pengguna dengan aplikasi, misal sosial media.

Lebih parahnya lagi, bukan hanya model algoritma saja yang dilatih. Pengguna-pun sebenarnya dilatih untuk melakukan sesuatu pada saat menerima stimulus, tentu dengan reward yang akhirnya menimbulkan adiksi. Contoh?

Bunyi notifikasi akan menstimulasi pikiran untuk membuka aplikasi sosial media. Lalu saat pengguna membuka aplikasi (reaksi 1), dan melihat informasi/ konten yang menarik untuknya (reaksi 2), tubuh akan melepas hormon endorfin yang menimbulkan adiksi (Ivan Pavlo’s dog theory). Pada reaksi 1, tubuh melepaskan 10x lebih banyak kadar endorfin dibandingkan reaksi ke-2 (James Clear, Atomic Habit).

Yaps, bisa dibilang kita adalah produk teknologi yang sebenarnya. Aplikasi seperti media sosial dikatakan berhasil jika dengan pelan-pelan dan tanpa kelihatan merubah perilaku dan membentuk cara berpikir para penggunanya. Contoh nyata? Beda perilaku antara generasi Y, Z dan generasi-generasi sebelumnya. Dengan rekomendasi-rekomendasi konten, kita digiring ke 1 arah, 1 jalan pikiran tanpa mampu melihat arah sebaliknya.

Kemampuan-kemampuan inilah yang disebut persuasive technology. Menurut film ini juga, ada 3 tujuan utama dari sosial media :

  1. Engagement, menghubungkan antar individu (umumnya ini yang terlihat)
  2. Growth, pengguna terus bertambah
  3. Advertising/ iklan

Yaps, komersial.

Tentu, teknologi jauh meningkatkan kualitas hidup manusia. Namun, jalur komunikasi yang bisa mengarah ke siapapun dan dimanapun ini membuat efek-efek negatif mudah diamplifikasi. “Amplifiers” ini menimbulkan kesenjangan sosial sehingga orang-orang lebih suka berada di “dunia maya-nya”, demikian hingga internet semakin ramai, dunia nyata semakin ditinggalkan.

Entah tulisan ini masuk ke dalam resensi, atau review, apapun. Intinya, film ini menurutku pribadi recommended untuk ditonton. Kalau sudah, drop pendapatmu di kolom komentar ya!

--

--

Raudhohfitrah
Raudhohfitrah

Written by Raudhohfitrah

Technology Addict , Traveler, Community Enthusiast.

No responses yet